http://z.about.com/d/movies/1/0/S/F/R/
theforbiddenkingdompic7.jpg
Banyak yang bilang Gorontalo adalah Serambi Madinah. Jika benar demikian, beruntungnya aku karena sebelumnya juga aku pernah ke Aceh, yang banyak disebut sebagai Serambi Mekkah. Setidaknya, aku sudah pernah ke serambinya. Semoga diberi kesempatan untuk memasuki dalamnya, baik jiwa maupun raga.
Aku ke Aceh beberapa hari setelah Tsunami Desember 2004. Pada waktu itu aku sedang mendokumentasikan kegiatan teman-temanku yang sedang mengumpulkan sumbangan untuk para korban Aceh di depan kampus. Salah seorang teman seorganisasiku menghampiri dan menanyakan keseriusanku tentang keinginanku pergi ke Aceh. Lalu jadilah aku mengikuti tes kesehatan, lolos, langsung kutelepon ibuku dan beliau tak bisa berkata apapun. Semoga bentuk restunya.
Tidak seperti turun lapang menghadapi para petani biasa, yang aku hadapi sewaktu di Aceh adalah para petani yang luar biasa, tengah beralih ‘profesi’ menjadi pengungsi. Aku dan tim membawa 14 truk fuso untuk membangun sanitasi di Meulaboh. Akibat ke-sok-tahu-anku sepanjang perjalanan dan ketika tiba di Aceh, aku pun jadi kepala logistik. Para pengungsi belum bisa mendapatkan bantuan kalau belum mendapatkan memo logistik dariku. Alangkah gayanya aku pada saat itu.
Hal yang sangat kusayangkan adalah, selama delapan hari di sana, aku tak sempat mewawancarai atau mengobrol secara intens dengan petani. Aku bergulat dengan para ‘anak buah’ yang sebagian besar laki-laki, logistik, dan anak kecil yang lucu yang bernama Putri.
Trauma sangat terlihat di mata para ibu. Putri adalah sosok anak kecil nan cantik yang menemani kami, para relawan/wati ketika beristirahat. Lima hari perjalanan pergi dan pulang cukup membuatku terhenyak melihat sawah yang tergenang air, pohon-pohon yang tumbang, jalan-jalan yang retak, para pengungsi yang mencoba berbahagia, bendera-bendera. Sebagian besar bangunan yang bertahan adalah masjid. Tak pantas rasanya disandingkan dengan masjid, tapi bagaimana lagi, selain kubah masjid, sebagian besar toilet adalah salah satu ‘infrastruktur’ yang juga tetap terlihat di antara reruntuhan bangunan.
Sebelum ke Gorontalo, aku sempat juga ke Poso, dalam rangka melaksanakan tugas dari yayasan untuk membuat naskah film tentang Revitalisasi Sintuwu Maroso pasca konflik. Aku cuma sepuluh hari di sana.
Sintuwu Maroso adalah rasa bersama yang salah satunya berbentuk gotong royong di Poso. Sintuwu Maroso adalah salah satu nilai pembangun paguyuban masyarakat Poso. Di antara beberapa desa yang menjadi arena belajar teman-teman pegiat lain selama lebih kurang setahun, aku sering menghabiskan waktu di Desa Tangkura.
Di desa ini, aku ditemani beberapa orang baik dari pegiat yayasan cabang Poso maupun pendamping lokal, mengelilingi desa. Di Kampung Gantinadi Desa Tangkura, aku mengikuti upacara adat Hindu dalam menghadapi gerhana, aku sampai menangis. Sebagian besar dari mereka adalah petani coklat dan kelapa yang sedang sibuk dengan pertanyaan bagaimana mengatasi hama coklat dan kelapa? Aku juga bingung.
Penyembuhan trauma pasca konflik di desa lebih cepat daripada di kota. Kalau di kota, pada waktu itu aku serasa diawasi tingkat tinggi, baik oleh penduduk maupun segala perangkat keamanan yang sedang ditempatkan di Poso. Bahkan ketika aku di pantai. Kalau sedang jalan-jalan, aku sangat suka dioleh-olehi atau mengoleh-olehi batu dari pantai atau sungai.
= ),
dini harmita