pic from: http://www.halohalo.co.id/gambar
/276x184anak2%20LP.jpg
Aku pertama kali mengenal desa dari desa-nya kakek-nenekku di Bandung, yang kini aku rindukan sangat karena sudah lama tak kukunjungi. Aku sering mengunjungi desa itu ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Yang aku ingat, banyak hijau-hijau di sekitar rumah kakek-nenekku. Setelah sedikit dewasa aku baru menyadari bahwa memang rumah itu terletak di antara sawah-sawah dan pohon-pohon, rumah satu-satunya.
Aku baru ingat, bahwa selain kehijauan, ada paguyuban, warga desa selalu membantu nenekku mengelola sawahnya, sementara kakekku adalah seseorang yang suka melaut dan berlayar ke mana-mana. Aku baru ingat, bahwa hasil sawah dan kolam selalu dikelola bersama oleh masyarakat desa. Aku baru ingat bahwa jika sedang tidak punya apapun yang bisa dimakan, masyarakat desa bisa dengan mudah mendapatkannya dari tetangga. Aku baru ingat, bahwa ketika hendak pulang dari bandung, aku selalu bersimpuh di kaki nenek dan para sesepuh, mohon pamit dan doa, aku selalu menangis pada saat itu. Oh, aku sangat merindukan hal itu.
Yang aku ingat, aku menyentuh desa lagi pada saat aku di SMU. Waktu itu ada praktek Mata Ajaran Sosiologi. Sekali lagi, yang aku ingat adalah selain jalannya yang jauh dan terkadang rusak, adalah banyak hijau-hijau di sana.
Memasuki dunia perkuliahan, aku mempelajari berbagai konsep tentang pedesaan, karena aku memasuki jurusan yang berkaitan dengan pedesaan. Seringkali aku dan teman-teman turun lapang untuk belajar bersama masyarakat pedesaan, terutama petani. Untuk kesekian kalinya, yang aku ingat adalah kehijauan.
Pada saat Kuliah Kerja Profesi di Cianjur Selatan, aku membuat program pengembangan kemampuan siswa/i dalam memanfaatkan computer sebagai salah satu media dalam komunikasi massa. Oh, sekarang aku mengerti mengapa aku jadi asisten dosen Mata Kuliah Komunikasi Massa di kampus. Tapi, kini aku mulai semakin merasa bersalah, khawatir komputerisasi yang ini malah mempertebal reduksi kehijauan dan paguyuban desa. Semoga tidak.
Pada saat skripsi, aku mengambil dua kasus desa di Gunung Halimun. Perbedaan mendasar antara kedua desa ini, selain yang satu berada di Kabupaten Bogor dan yang lain berada di Kabupaten Sukabumi, adalah paguyuban yang lebih terasa di satu desa. Nilai-nilai yang dibangun di dalamnya membuat mereka secara berkelanjutan dan bersama-sama mengelola lahan secara tradisional. Mereka mengolah lahannya selama enam bulan dan mereka istirahatkan lahan mereka selama enam bulan dengan menjadikannya sebagai tempat ikan-ikan bercengkerama. Dari segi pendapatan, desa ini mengalami perkembangan yang pesat karena setiap panennya bisa menjual hasil tani yang melimpah. Selain itu, mereka juga menyimpan hasil tani mereka di sebuah rumah dari kayu yang diberi nama imah gede (Bahasa Sunda, artinya Rumah Besar), siapapun yang hendak makan, baik karena tidak mempunyai makanan, atau karena ingin bercengkerama dengan sesame warga, bisa datang ke imah gede ini.
Setelah lulus, aku diberi kesempatan ke Gorontalo, menemani temanku yang sedang hamil, menjadi fasilitator dalam penanganan pasca panen padi. Kami belum sempat bertemu dengan gubernurnya yang terkenal pada saat itu, tapi kami sungguh sempat mengobrol banyak dengan para petani, sambil ikut pelatihan pengelolaan hama, penggunaan alat, minum saraba bahkan belajar bahasa asli Gorontalo. Klise mungkin, tapi memang diperlukan kerjasama antara pihak terkait.
Pihak-pihak terkait yang dimaksud itu, selain para petani dan organisasinya, adalah juga pemerintah, swasta dan akademisi. Senang sekali pada saat itu aku bisa bertemu langsung dengan para kepala baik dinas pertanian provinsi dan kabupaten, kepala unit teknis Bulog Divre serta universitas. Belum lagi, salah satu luck of beginner yang kami dapat adalah ketika kami tinggal di rumah yang ternyata kepala dinas koperasi kabupaten Gorontalo.
=),
dini harmita
No comments:
Post a Comment