Tuesday, November 25, 2008

inspirated by movies i've watched

Hidup Bergandengan

dini harmita

Dalai lama dengan kesungguhan hatinya datang ke Tiongkok untuk memperjuangkan integritas Tibet. Integritas ini diperjuangkan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya.

Kesejahteraan masyarakat Indonesia selama ini dihitung dengan indikator-indikator pangan yang salah satunya adalah ukuran kalori. Petani adalah subyek yang tidak tiada terhingga jasanya dalam penyediaan pangan. Salah satunya adalah dalam menjaga ketersediaan makanan pokok. Kasus Indonesia, maka salah satu makanan pokok tersebut adalah beras atau gabah.

Hubungan dollar dan rupiah serta harga minyak dunia yang fluktuatif membuat pangan lokal Indonesia mempunyai kesempatan lebih dalam menunjukkan eksistensinya sebagai penyuplai energi bagi tubuh. Selain beras atau gabah, maka kini kedelai pun mulai menunjukkan ’gigi’nya.

Petani Indonesia, baik beras, gabah, kedelai maupun pangan yang lain selama ini mempunyai hak-hak asasi yang tertulis dan tersirat namun belum pernah terpenuhi. Berstatus petani, mereka telah sekuat tenaga melaksanakan kewajiban mereka namun tak satupun hak mereka dapatkan secara proporsional.

Ketimpangan antara hak dan kewajiban tersebut menjadi salah satu pemicu konflik, baik horizontal maupun vertikal. Konflik ini terjadi di sebagian besar wilayah pedesaan Indonesia yang telah beralih fungsi menjadi wilayah perkebunan dan industri.

Perkebunan dan industri bukan dua hal yang menyeramkan yang tidak diperlukan dalam pertanian holistik Indonesia. Namun perannya yang tidak dikomunikasikan kepada para pemilik atau pengolah lahan yang memegang teguh kesejarahan mereka membuat bayang-bayang sistem ’yang sejahtera semakin sejahtera’ membuat tidak terfasilitasinya kebutuhan setiap pihak. Hanya segelintir pihak saja yang puas dengan realiasi bayang-bayang tersebut.

Sebagian orang menyebut realisasi bayang-bayang tersebut dalam sistem kapitalisasi atau globalisasi. Kegagalan atau kehancurannya juga diharapkan sebagian orang seperti sebagian yang lain mengharapkan kegagalan atau kehancuran realisasi hak-hak asasi petani kecil.

Seperti yang disampaikan ilmu pasti berjudul Matematika, negatif dikali negatif adalah positif, maka konflik tak selamanya menjadi proses yang merugikan. Pada saatnya konflik adalah justru proses yang menyelesaikan masalah.

Negosiasi Menang-menang dengan komunikasi persuasif juga dapat dilakukan dalam konflik. Terutama jika kita memasukkannya dalam konteks budaya lokal. Poso, Sampit, Ambon, bahkan Assam di India adalah ruang fisik yang mempunyai budaya lokal yang tidak ternilai harganya. Salah satu irisan budaya-budaya tersebut adalah mensyaratkan budaya berkomunikasi yang tidak searah (melainkan timbal balik), menggunakan teknologi tanpa mengabaikan tatap muka, selain menghargai siapa yang menyampaikan pendapat juga lebih menghargai apa yang disampaikan, dan mengembangkan kehijauan sebagai ruang fisik serta paguyuban sebagai ruang psikis pedesaan yang mulai ditinggalkan.

Pertanian yang dikembangkan melalui kehijauan dan paguyuban tersebut diharapkan dapat mencegah konflik atau menjadikan konflik sebagai proses penyelesaian masalah. Bahwa budaya lokal adalah bukan musuh dari perkembangan zaman dan kebalikannya, adalah salah satu jalan membuka mata kita untuk hidup bergandengan.

Bogor, 31 Oktober 2008

No comments: