slain sukanonton, sbenernya juga sukajalan+sukamakan+sukabaca.. what a beautiful life memang.. =).
Sunday, December 28, 2008
me
setiap diri kita adalah istimewa (wish-all-d-best.blogspot.com, desember 2006),
= ),
dini harmita
Saturday, December 27, 2008
Sunday, November 30, 2008
nights in rodanthe
pic: http://images.salon.com/ent/movies/review/
2008/09/26/rodanthe/story.jpg
pic: http://z.about.com/d/movies/1/0/P/V/R/
nightsinrodanthepuba.jpg
Aku menyukai pantai bukan karena fisiknya, tapi karena pada ruang ini aku menyediakan waktu untuk memaafkan diriku sendiri, aku punya waktu beberapa menit untuk berefleksi, memberikan waktu pada “the power of do nothing”.
Di balik gelombang air, aku melihat ada batu yang ingin aku ambil dan aku oleh-olehi, tapi tak kulakukan, karena aku tak bisa berenang. Ini adalah alasanku memakai jilbab ketika memasuki ujian praktek renang di SMP kelas 3. Akan ada kompensasi penggantian tugas bagi mereka yang berjilbab waktu itu. Karena tidak bisa berenang, jadilah aku memakai jilbab. Setelah itu, selain karena sampai sekarang aku belum bisa berenang, aku keenakan pakai jilbab, jadi keterusan. Sekarang aku sedang belajar berenang, dan aku sudah kadung nyaman dengan jilbab ini, bukan untuk memperjuangkan simbol atau identitas, tapi karena nyaman, that's all.
Di balik kapal aku melihat nelayan yang sedang berusaha membuat dirinya lebih sabar, menunggu ikan besar yang seperti menjawab burung pelikan di film Finding Nemo dengan “I am yours. Yours, yours”. Jauh di baliknya lagi, ada istri dan anaknya sedang makan nasi aking, menunggu sang suami dan ayah yang sudah beberapa hari belum pulang.
= ),
dini harmita
Tuesday, November 25, 2008
learning from the class
elaeis melanococca = kelapa sawit
pennisetum polystachyon = rumput gajah
pteridium aquilinum = pakis
ageratum conyzoides = babadotan
oryza sativa = padi
durio zibethinus = durian
elaeis guineensis jack = kelapa sawit (Afrika)
mangifera indica = mangga
lantana camara = tahi ayam
salacca edulis = salak
gnetum gnemon = melinjo
elaeis oleifera = kelapa sawit (Amerika)
Bougenville = bunga kertas
manihot utilisima = ubi kayu
emilia sonchifolia = temu wiyang
yang masih dicari = melastoma malabraticum, amaranthus dubius
inspirated by movies i've watched
Hidup Bergandengan
dini harmita
Dalai lama dengan kesungguhan hatinya datang ke Tiongkok untuk memperjuangkan integritas Tibet. Integritas ini diperjuangkan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya.
Kesejahteraan masyarakat Indonesia selama ini dihitung dengan indikator-indikator pangan yang salah satunya adalah ukuran kalori. Petani adalah subyek yang tidak tiada terhingga jasanya dalam penyediaan pangan. Salah satunya adalah dalam menjaga ketersediaan makanan pokok. Kasus Indonesia, maka salah satu makanan pokok tersebut adalah beras atau gabah.
Hubungan dollar dan rupiah serta harga minyak dunia yang fluktuatif membuat pangan lokal Indonesia mempunyai kesempatan lebih dalam menunjukkan eksistensinya sebagai penyuplai energi bagi tubuh. Selain beras atau gabah, maka kini kedelai pun mulai menunjukkan ’gigi’nya.
Petani Indonesia, baik beras, gabah, kedelai maupun pangan yang lain selama ini mempunyai hak-hak asasi yang tertulis dan tersirat namun belum pernah terpenuhi. Berstatus petani, mereka telah sekuat tenaga melaksanakan kewajiban mereka namun tak satupun hak mereka dapatkan secara proporsional.
Ketimpangan antara hak dan kewajiban tersebut menjadi salah satu pemicu konflik, baik horizontal maupun vertikal. Konflik ini terjadi di sebagian besar wilayah pedesaan Indonesia yang telah beralih fungsi menjadi wilayah perkebunan dan industri.
Perkebunan dan industri bukan dua hal yang menyeramkan yang tidak diperlukan dalam pertanian holistik Indonesia. Namun perannya yang tidak dikomunikasikan kepada para pemilik atau pengolah lahan yang memegang teguh kesejarahan mereka membuat bayang-bayang sistem ’yang sejahtera semakin sejahtera’ membuat tidak terfasilitasinya kebutuhan setiap pihak. Hanya segelintir pihak saja yang puas dengan realiasi bayang-bayang tersebut.
Sebagian orang menyebut realisasi bayang-bayang tersebut dalam sistem kapitalisasi atau globalisasi. Kegagalan atau kehancurannya juga diharapkan sebagian orang seperti sebagian yang lain mengharapkan kegagalan atau kehancuran realisasi hak-hak asasi petani kecil.
Seperti yang disampaikan ilmu pasti berjudul Matematika, negatif dikali negatif adalah positif, maka konflik tak selamanya menjadi proses yang merugikan. Pada saatnya konflik adalah justru proses yang menyelesaikan masalah.
Negosiasi Menang-menang dengan komunikasi persuasif juga dapat dilakukan dalam konflik. Terutama jika kita memasukkannya dalam konteks budaya lokal. Poso, Sampit, Ambon, bahkan Assam di India adalah ruang fisik yang mempunyai budaya lokal yang tidak ternilai harganya. Salah satu irisan budaya-budaya tersebut adalah mensyaratkan budaya berkomunikasi yang tidak searah (melainkan timbal balik), menggunakan teknologi tanpa mengabaikan tatap muka, selain menghargai siapa yang menyampaikan pendapat juga lebih menghargai apa yang disampaikan, dan mengembangkan kehijauan sebagai ruang fisik serta paguyuban sebagai ruang psikis pedesaan yang mulai ditinggalkan.
Pertanian yang dikembangkan melalui kehijauan dan paguyuban tersebut diharapkan dapat mencegah konflik atau menjadikan konflik sebagai proses penyelesaian masalah. Bahwa budaya lokal adalah bukan musuh dari perkembangan zaman dan kebalikannya, adalah salah satu jalan membuka mata kita untuk hidup bergandengan.
Bogor, 31 Oktober 2008
Tuesday, November 18, 2008
007 (Quantum of Solace & Casino Royale)
Monday, October 13, 2008
laskar pelangi
pic from: http://www.halohalo.co.id/gambar
/276x184anak2%20LP.jpg
Aku pertama kali mengenal desa dari desa-nya kakek-nenekku di Bandung, yang kini aku rindukan sangat karena sudah lama tak kukunjungi. Aku sering mengunjungi desa itu ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Yang aku ingat, banyak hijau-hijau di sekitar rumah kakek-nenekku. Setelah sedikit dewasa aku baru menyadari bahwa memang rumah itu terletak di antara sawah-sawah dan pohon-pohon, rumah satu-satunya.
Aku baru ingat, bahwa selain kehijauan, ada paguyuban, warga desa selalu membantu nenekku mengelola sawahnya, sementara kakekku adalah seseorang yang suka melaut dan berlayar ke mana-mana. Aku baru ingat, bahwa hasil sawah dan kolam selalu dikelola bersama oleh masyarakat desa. Aku baru ingat bahwa jika sedang tidak punya apapun yang bisa dimakan, masyarakat desa bisa dengan mudah mendapatkannya dari tetangga. Aku baru ingat, bahwa ketika hendak pulang dari bandung, aku selalu bersimpuh di kaki nenek dan para sesepuh, mohon pamit dan doa, aku selalu menangis pada saat itu. Oh, aku sangat merindukan hal itu.
Yang aku ingat, aku menyentuh desa lagi pada saat aku di SMU. Waktu itu ada praktek Mata Ajaran Sosiologi. Sekali lagi, yang aku ingat adalah selain jalannya yang jauh dan terkadang rusak, adalah banyak hijau-hijau di sana.
Memasuki dunia perkuliahan, aku mempelajari berbagai konsep tentang pedesaan, karena aku memasuki jurusan yang berkaitan dengan pedesaan. Seringkali aku dan teman-teman turun lapang untuk belajar bersama masyarakat pedesaan, terutama petani. Untuk kesekian kalinya, yang aku ingat adalah kehijauan.
Pada saat Kuliah Kerja Profesi di Cianjur Selatan, aku membuat program pengembangan kemampuan siswa/i dalam memanfaatkan computer sebagai salah satu media dalam komunikasi massa. Oh, sekarang aku mengerti mengapa aku jadi asisten dosen Mata Kuliah Komunikasi Massa di kampus. Tapi, kini aku mulai semakin merasa bersalah, khawatir komputerisasi yang ini malah mempertebal reduksi kehijauan dan paguyuban desa. Semoga tidak.
Pada saat skripsi, aku mengambil dua kasus desa di Gunung Halimun. Perbedaan mendasar antara kedua desa ini, selain yang satu berada di Kabupaten Bogor dan yang lain berada di Kabupaten Sukabumi, adalah paguyuban yang lebih terasa di satu desa. Nilai-nilai yang dibangun di dalamnya membuat mereka secara berkelanjutan dan bersama-sama mengelola lahan secara tradisional. Mereka mengolah lahannya selama enam bulan dan mereka istirahatkan lahan mereka selama enam bulan dengan menjadikannya sebagai tempat ikan-ikan bercengkerama. Dari segi pendapatan, desa ini mengalami perkembangan yang pesat karena setiap panennya bisa menjual hasil tani yang melimpah. Selain itu, mereka juga menyimpan hasil tani mereka di sebuah rumah dari kayu yang diberi nama imah gede (Bahasa Sunda, artinya Rumah Besar), siapapun yang hendak makan, baik karena tidak mempunyai makanan, atau karena ingin bercengkerama dengan sesame warga, bisa datang ke imah gede ini.
Setelah lulus, aku diberi kesempatan ke Gorontalo, menemani temanku yang sedang hamil, menjadi fasilitator dalam penanganan pasca panen padi. Kami belum sempat bertemu dengan gubernurnya yang terkenal pada saat itu, tapi kami sungguh sempat mengobrol banyak dengan para petani, sambil ikut pelatihan pengelolaan hama, penggunaan alat, minum saraba bahkan belajar bahasa asli Gorontalo. Klise mungkin, tapi memang diperlukan kerjasama antara pihak terkait.
Pihak-pihak terkait yang dimaksud itu, selain para petani dan organisasinya, adalah juga pemerintah, swasta dan akademisi. Senang sekali pada saat itu aku bisa bertemu langsung dengan para kepala baik dinas pertanian provinsi dan kabupaten, kepala unit teknis Bulog Divre serta universitas. Belum lagi, salah satu luck of beginner yang kami dapat adalah ketika kami tinggal di rumah yang ternyata kepala dinas koperasi kabupaten Gorontalo.
=),
dini harmita
God Must Be Crazy
pic from: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://bp0.blogger.com/_MYazjjzJ7ak/R8t1WLu7kbI/AAAAAAAAAFs/jydpzT3qIro/s320/Picture%2B6.png&imgrefurl=http://his-ivyt.blogspot.com/2008/03/god-must-be-crazy-movie-reflection.html&h=236&w=320&sz=149&hl=id&start=14&usg=__V3FX5hVNX8ri_nOcqMpzGCbhs7Q=&tbnid=1p0br3QfJlqedM:&tbnh=87&tbnw=118&prev=/images%3Fq%3DGod%2BMust%2BBe%2BCrazy%26gbv%3D2%26hl%3Did%26sa%3DG
Tuesday, September 23, 2008
the forbidden kingdom
http://z.about.com/d/movies/1/0/S/F/R/
theforbiddenkingdompic7.jpg
Banyak yang bilang Gorontalo adalah Serambi Madinah. Jika benar demikian, beruntungnya aku karena sebelumnya juga aku pernah ke Aceh, yang banyak disebut sebagai Serambi Mekkah. Setidaknya, aku sudah pernah ke serambinya. Semoga diberi kesempatan untuk memasuki dalamnya, baik jiwa maupun raga.
Aku ke Aceh beberapa hari setelah Tsunami Desember 2004. Pada waktu itu aku sedang mendokumentasikan kegiatan teman-temanku yang sedang mengumpulkan sumbangan untuk para korban Aceh di depan kampus. Salah seorang teman seorganisasiku menghampiri dan menanyakan keseriusanku tentang keinginanku pergi ke Aceh. Lalu jadilah aku mengikuti tes kesehatan, lolos, langsung kutelepon ibuku dan beliau tak bisa berkata apapun. Semoga bentuk restunya.
Tidak seperti turun lapang menghadapi para petani biasa, yang aku hadapi sewaktu di Aceh adalah para petani yang luar biasa, tengah beralih ‘profesi’ menjadi pengungsi. Aku dan tim membawa 14 truk fuso untuk membangun sanitasi di Meulaboh. Akibat ke-sok-tahu-anku sepanjang perjalanan dan ketika tiba di Aceh, aku pun jadi kepala logistik. Para pengungsi belum bisa mendapatkan bantuan kalau belum mendapatkan memo logistik dariku. Alangkah gayanya aku pada saat itu.
Hal yang sangat kusayangkan adalah, selama delapan hari di sana, aku tak sempat mewawancarai atau mengobrol secara intens dengan petani. Aku bergulat dengan para ‘anak buah’ yang sebagian besar laki-laki, logistik, dan anak kecil yang lucu yang bernama Putri.
Trauma sangat terlihat di mata para ibu. Putri adalah sosok anak kecil nan cantik yang menemani kami, para relawan/wati ketika beristirahat. Lima hari perjalanan pergi dan pulang cukup membuatku terhenyak melihat sawah yang tergenang air, pohon-pohon yang tumbang, jalan-jalan yang retak, para pengungsi yang mencoba berbahagia, bendera-bendera. Sebagian besar bangunan yang bertahan adalah masjid. Tak pantas rasanya disandingkan dengan masjid, tapi bagaimana lagi, selain kubah masjid, sebagian besar toilet adalah salah satu ‘infrastruktur’ yang juga tetap terlihat di antara reruntuhan bangunan.
Sebelum ke Gorontalo, aku sempat juga ke Poso, dalam rangka melaksanakan tugas dari yayasan untuk membuat naskah film tentang Revitalisasi Sintuwu Maroso pasca konflik. Aku cuma sepuluh hari di sana.
Sintuwu Maroso adalah rasa bersama yang salah satunya berbentuk gotong royong di Poso. Sintuwu Maroso adalah salah satu nilai pembangun paguyuban masyarakat Poso. Di antara beberapa desa yang menjadi arena belajar teman-teman pegiat lain selama lebih kurang setahun, aku sering menghabiskan waktu di Desa Tangkura.
Di desa ini, aku ditemani beberapa orang baik dari pegiat yayasan cabang Poso maupun pendamping lokal, mengelilingi desa. Di Kampung Gantinadi Desa Tangkura, aku mengikuti upacara adat Hindu dalam menghadapi gerhana, aku sampai menangis. Sebagian besar dari mereka adalah petani coklat dan kelapa yang sedang sibuk dengan pertanyaan bagaimana mengatasi hama coklat dan kelapa? Aku juga bingung.
Penyembuhan trauma pasca konflik di desa lebih cepat daripada di kota. Kalau di kota, pada waktu itu aku serasa diawasi tingkat tinggi, baik oleh penduduk maupun segala perangkat keamanan yang sedang ditempatkan di Poso. Bahkan ketika aku di pantai. Kalau sedang jalan-jalan, aku sangat suka dioleh-olehi atau mengoleh-olehi batu dari pantai atau sungai.
= ),
dini harmita